Kisah spiritual anak amerika yang memeluk islam hanya karena
dia baca mengenai buku Islam, setelah sebelumnya orang tuanya memberinya semua
buku seluruh agama yang ada di dunia. Orang tua itu memutuskan agar anaknya
sendirilah yang memilih agama yang diyakininya dapat menjadi tuntunan
hidupnya. Rasulullah Saw, bersabda : “Setiap bayi yang dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi,
atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari.)
Kisah bocah Amerika ini tidak lain adalah sebuah bukti yang
membenarkan hadis tersebut di atas. Alexander Pertz dilahirkan dari kedua
orang tua Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak awal ibunya telah memutuskan untuk
membiarkannya memilih agamanya jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat.
Begitu juga dia bisa membaca dan menulis maka ibunya menghadirkan untuknya
buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah
membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim.
Padahal Ia tak pernah bertemu muslim seorang pun.
Dia sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia
mempelajari shalat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah
Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan
belajar adzan. Semua itu tanpa bertemu dengan seorang muslim pun.
Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu
Muhammad Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah Saw
yang dia cintai sejak masih kecil.
Salah seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada
bocah tersebut. Namun, sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah
tersebut bertanya kepada wartawan itu, “Apakah Engkau seorang yang hafal
Al-Quran?”
Wartawan itu berkata: “Tidak”, Namun sang wartawan dapat
merasakan kekecewaan anak itu atas jawabannya.
Bocah itu kembali berkata: “Akan tetapi engkau adalah
seorang muslim, dan mengerti bahasa Arab, bukankan demikian?”. Dia menghujani
wartawan itu dengan banyak pertanyaan. “Apakah engkau bisa mendapatkan pakaian
ihram? Apakah pakaian ihram tersebut mahal? Apakah mungkin aku membelinya di
sini, ataukah mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja? Kesulitan apa sajakah
yang engkau alami, dengan keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang
bukan Islami?”
Setelah wartawan itu menjawab sebisanya, anak itu kembali
berbicara dan menceritakan tentang beberapa hal berkenaan dengan
kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau
minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di
kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk
mengumandangkan adzan sebelum dia sholat. Kemudian Ia berkata dengan penuh
penyesalan. “Tekadang aku kehilangan sebagian sholat karena ketidak tahuanku
tentang waktu-waktu solat.”
Kemudian wartawan itu bertanya pada sang bocah itu, “Apa
yang membuatmu tertarik pada Islam? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang
lain saja?” Dia diam sesaat kemudian menjawab “Aku tidak tahu, segala yang aku
ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah
bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku.”
Wartawan bertanya kembali, : ”Apakah engkau telah puasa
Ramadhan?”
Ia tersenyum sambil menjawab, “Ya, aku telah puasa Ramadhan
yang lalu secara sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku
berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama.” Kemudian
dia meneruskan: “Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan mampu berpuasa,
akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal tersebut.”
“Apakah cita-citamu?” Tanya wartawan
Dengan cepat Ia menjawab, “Aku memiliki banyak cita-cita.
Aku berkeinginan untuk pergi ke Mekkah dan mencium Hajar Aswad.”
“Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan
ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab tersebut?’ Tanya wartawan
lagi.
Ibu Muhammad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia
berkata: “Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian orang
menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam
khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka
tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya
dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang
lain.”
Tampaklah senyuman di wajah Muhammad Abdullah, dia melihat
ibunya membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang
thawaf di sekitar Ka’bah, dan bagaimana haji sebagai sebuah lambang persamaan
antar sesama manusia sebagaimana Tuhan menciptakan mereka tanpa memandang
perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian Muhamad meneruskan, “Sesungguhnya aku berusaha
mengumpulkan sisa dari uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke
Mekkah al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke
sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar.”
Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha
menghilangkan kesan keteledorannya, “Aku sama sekali tidak keberatan dan
menghalanginya pergi ke Mekkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang
untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini.”
“Apakah cita-citamu yang lain?’ Tanya wartawan.
“Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum
muslim. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi)
dari mereka.” Jawab Muhammad.
Ibunya meliahat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka
diapun memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia
dengan ibunya sekitar tema ini.
Muhammad berkata, “Ibu, engkau belum membaca sejarah,
bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap
Palestina.”
“Apakah engkau mempunyai cita-cita lain?” Tanya wartawan
lagi.
Muhammad menjawab, “Cita-citaku adalah aku ingin belajar
bahasa Arab, dan menghafal Al-Quran.”
“Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam?” Tanya
wartawan
Maka dia menjawab dengan meyakinkan: “tentu”
“Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan?
Bagaimana engkau menghindari daging babi?”
Muhammad menjawab, “Babi adalah hewan yang sangat kotor dan
menjijikan. Aku sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku
mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak
menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan
kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi.”
“Apakah engkau shalat di sekolahan?”
“Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan
yang aku shalat di sana setiap hari”. Jawab Muhammad.
Kemudian datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara
tersebut. Bocah itu langsung berkata kepada wartawan, “Apakah engkau
mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan?”
Kemudian dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa
terasa, air mata mengalir di kedua mata sang wartawan ketika melihat dan
mendengarkan bocah itu menyuarakan adzan.
Subhanallah, meski dalam keterbatasan dalam mempelajari
islam tanpa seorang guru, tapi anak itu bertekat untuk mempelajari islam hingga
ke Mekkah, sedangkan kita yang berada di tempat yang mayoritas muslim, apakah
masih enggan untuk mempelajari islam,..??