Empat orang dokter bedah profesional asal negeri Paman Sam dikirim ke
Indonesia guna membantu para korban kerusuhan dan para korban ledakan
bom karena banyak dari mereka luka parah akibat peluru atau pecahan bom
yang bersarang di tubuh mereka.
Ketika mereka sedang istirahat di ruang tunggu Rumah Sakit Pertamina, mereka mengobrol tentang pasien Indonesia favorit mereka.
Kata dokter bedah pertama," Saya suka orang Indonesia yang berprofesi sebagai akuntan. Setiap kali membedah, bagian tubuhnya sudah tertera dalam angka-angka."
"Bukan," sergah dokter bedah satunya. "Pustakawan tentu yang terbaik.Organ-organ dalam tubuhnya tersusun rapih berdasarkan abjad."
"Ah, kalian semua belum pernah mencoba membedah tukang listrik," kata yang satunya," Semua bagian dalam tubuhnya diberi kode warna!"
Tiba-tiba, dokter bedah terakhir setengah berteriak," Kalau saya, lebih suka politikus Indonesia. Membedah mereka lebih gampang, karena tidak punya hati, tidak punya otak, dan tidak punya saraf malu. Cuma mulutnya aja yang besar."
Ketika mereka sedang istirahat di ruang tunggu Rumah Sakit Pertamina, mereka mengobrol tentang pasien Indonesia favorit mereka.
Kata dokter bedah pertama," Saya suka orang Indonesia yang berprofesi sebagai akuntan. Setiap kali membedah, bagian tubuhnya sudah tertera dalam angka-angka."
"Bukan," sergah dokter bedah satunya. "Pustakawan tentu yang terbaik.Organ-organ dalam tubuhnya tersusun rapih berdasarkan abjad."
"Ah, kalian semua belum pernah mencoba membedah tukang listrik," kata yang satunya," Semua bagian dalam tubuhnya diberi kode warna!"
Tiba-tiba, dokter bedah terakhir setengah berteriak," Kalau saya, lebih suka politikus Indonesia. Membedah mereka lebih gampang, karena tidak punya hati, tidak punya otak, dan tidak punya saraf malu. Cuma mulutnya aja yang besar."